Sabtu, 11 Februari 2012

Home » » Majalengka Gagal Dalam Bidang Kesehatan

Majalengka Gagal Dalam Bidang Kesehatan

Studi Kasus Pemenuhan Hak Atas Kesehatan di Kabupaten Majalengka 
Sejak tahun 2008 aksesibilitas pelayanan kesehatan masyarakat miskin di Kabupaten Majalengka semakin memburuk. Minimnya anggaran yang disediakan tidak sebanding dengan jumlah masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Pada tahun 2008, melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dialokasikan sebesar Rp. 250 juta, dimana anggaran tersebut rencananya dialokasikan untuk masyarakat miskin yang tidak tercover dalam Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkemas) dan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin).

Keadaan ini diperburuk dengan upaya yang dilakukan pemerintah dengan menutup anggaran kesehatan bagi pemilik kartu Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dan Kartu Miskin (KM) dengan alasan penertiban. Selanjutnya pemerintah juga mengeluarkan surat edaran kepada Pemerintahan desa, kecamatan, puskesmas dan Rumah Sakit untuk tidak memberikan pelayanan SKTM dan KM. Implikasinya adalah banyak warga miskin tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan, bahkan pihak Rumah Sakit terang-terangan tidak menerima pelayanan kesehatan berdasarkan SKTM atau KM. Hal ini juga mendorong terhadap menurunnya pelayanan kesehatan rumah sakit yang ada di majalengka, dan dengan sendirinya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit dan menimbulkan swastanisasi pelayanan kesehatan.

Keadaan ini sangat disayangkan, pada saat justru keberadaan rumah sakit di Kabupaten Majalengka hanya terdapat 2 (dua) rumah sakit tidak bisa bekerja maksimal. Yang ada kemudian masyarakat akhirnya harus pergi ke luar daerah seperti Bandung, Cirebon, solo dan sebagainya yang justru semakin memperbesar biaya pengobatan masyarakat.

Tidak Pro Rakyat
Dalam waktu ke belakang, kita terkejut dengan sikap-sikap pemerintah daerah terkesan progresif dalam merespon berbagai proyek pembangunan seperti Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), Jalan Tol, Perumahan PNS dan sebagainya. Bahkan tidak tanggung-tanggung mengeluarkan ancaman jika pembangunan bandara tidak jadi. Sungguh sangat ironis, sikap-sikap seperti itu bertolak belakang hanya guna mementingkan kepentingan proyek yang hanya dinikmati segelintir orang, tapi lemah dalam membela dan memenuhi kepentingan masyarakat banyak.

Minimnya dana kesehatan masyarakat miskin yang dianggarkan, rendahnya political will pemerintah daerah terlihat sangat tidak serius membangun kesejahteraan masyarakat. Padahal bidang kesehatan merupakan bagian agenda atau urusan yang harus dilakukan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 14 huruf e.

Terlebih pada tahun 2011, jelas-jelas Pemda tidak mengeluarkan anggaran kesehatan untuk masyarakat miskin dan walaupun dengan terpaksa dikeluarkan tapi anggaran itu tidak bisa dicairkan. Hal ini merupakan tindakan yang sangat teledor. Salah seorang warga yang hadir dalam diskusi mengatakan “apa gunanya pemerintah saat ini, kalau tidak becus ngurusin kesejahteraan masyarakat”.

Kegelisahan-kegelisahan semakin mencuat tatkala bobroknya pelayanan public di Rumah Sakit Majalengka yang tidak bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat, pembiaran dan bentuk-bentuk penolakan lainnya dilakukan pihak rumah sakit. Bahkan dengan terang-terangan pihak rumah sakit memasang pengumuman tidak melayani pasien pengguna askes, jamkesda. 

Kontrol Masyarakat
Bagaimanapun, anggaran merupakan kebijakan politik pemerintah yang didalamya memuat sebagian besar hak-hak warga terutama hak-hak ekonomi, social dan budaya. Dan Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekosob melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, artinya Negara atau pemerintah wajib hukumnya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia.

Politik anggaran seharusnya melahirkan kebijakan alokasi anggaran untuk menjamin terpenuhinya ak-hak dasar masyarakat terutama hak-hak ekonomi, social dan budaya. Praktek-praktek pembiaran atau tindakan langsung penutupan akses warga Negara untuk menikmati hak-hak dasarnya merupakan sebuah pelanggaran HAM.

Saatnya, warga Negara khususnya masyarakat Majalengka untuk melakukan monitoring/control terhadap penggunaan anggaran. Terlebih bahwa perencanaan, penyelenggaraan dan pengambilan keputusan anggaran merupakan arena perebutan sumber daya public (anggaran) seringkali posisi dan ruang-ruang yang seharusnya termanfaatkan oleh masyarakat menjadi tidak bisa dimanfaatkan.

Politik anggaran yang mampu memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dapat terpenuhi pada saat ruang-ruang yang diciptakan dimanfaatakan secara demokratis dan mampu mengakomodir kepentingan masyarakat luas, karena kebijakan Negara bukan lagi sebagai monopoli Negara/pemerintah, keterlibatan masyarakat dalam Negara yang demokratis menjadi vital.

Karakter pemerintah yang sikap-sikapnya tidak dikontrol oleh masyarakat akan semakin menjadikan Kabupaten Majalengka sebagai lahan empuk ajang konspirasi, ajang korupsi dan semakin mengenakan prilaku para elit politik.
Share this article :

Posting Komentar