Jumat, 10 Februari 2012

Home » » Harus ada keberanian terapkan hukum restoratif

Harus ada keberanian terapkan hukum restoratif

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Mahfud MD menyatakan harus ada keberanian untuk menerapkan hukum restoratif untuk menangani perkara hukum yang melibatkan anak-anak dan masyarakat kecil.

"Sesuai hukum formal, orang dihukum jika unsur-unsur pidananya terpenuhi, kalau tidak dihukum hakim dan jaksanya nanti salah juga," katanya,usai menguji calon doktor Universitas Diponegoro di Semarang, Jawa Tengah, Jumat.

Persoalannya, kata dia, jika menyangkut anak-anak atau masyarakat kecil yang tersangkut kasus-kasus sepele yang sebenarnya tidak perlu sampai diajukan ke pengadilan, cukup didamaikan secara kekeluargaan.

Untuk itu, Mahfud menegaskan perlu adanya keberanian untuk menerapkan hukum restoratif, untuk hal-hal yang mengakut anak kecil, atau orang-orang kecil yang mungkin mencuri barang yang sepele karena keterpaksaan.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu menjelaskan, penanganan kasus yang menyangkut anak kecil dan pencurian sepele itu sesuai hukum restoratif tidak perlu diajukan ke pengadilan.

"Apalagi sampai dipermalukan. Sebab, meski tidak dipenjara, jika (pelaku pencurian sepele, red.) dinyatakan bersalah tetap terpukul juga. Untuk kasus-kasus itu cukup didamaikan, dibina, secara kekeluargaan," katanya.

Selain itu, Mahfud menjelaskan, saat ini ada rancangan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) baru yang seharusnya bisa dimasukkan hal-hal menyangkut peradilan anak sebagai salah satu bagiannya.

Sebelumnya, pakar hukum Universitas Diponegoro Semarang Dr RB Sularto menyampaikan perlunya sentuhan humanistik dalam penegakan hukum untuk menangani kasus-kasus tertentu, seperti yang menimpa anak-anak dan rakyat kecil.

"Model peradilan pidana di Indonesia selama ini memang masih memahami perundang-undangan sebatas apa yang tertulis begitu saja, akhirnya terjadi kasus hukum yang justru memilukan hati," kata pengajar Fakultas Hukum Undip itu.

Ia mencontohkan, kasus Minah, nenek yang mengambil tiga buah kakao hingga kasus anak kecil berusia 15 tahun di Palu yang harus menjalani proses persidangan gara-gara mengambil sandal milik anggota polisi.

Padahal, perkara-perkara tidak penting semacam itu sebenarnya tidak perlu sampai ke persidangan, apalagi bagi anak-anak yang menimbulkan dampak buruk secara psikologis jika harus menjalani persidangan.

"Aparat kepolisian dan jaksa bisa tidak meneruskan perkara itu, dan hakim pun bisa menawarkan jaksa untuk dipikirkan lebih dulu. Sebab, biaya sosial dan finansial yang ditanggung memang tidak sebanding," kata Sularto.
Share this article :

Posting Komentar