Senin, 20 Februari 2012

Home » » Advokat Persoalkan Kewenangan Jaksa Menyidik Korupsi

Advokat Persoalkan Kewenangan Jaksa Menyidik Korupsi

Kewenangan jaksa melakukan penyidikan kembali dipersoalkan oleh sejumlah warga warga lewat pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah M Zainal Arifin, Iwan Budi Santoso, dan Ardion Sitompul yang mengaku berprofesi sebagai advokat.  

Spesifik, ketiganya memohon Mahkamah menguji Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Pasal 39 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, dan Pasal 44 ayat (4), (5), Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kewenangan jaksa menyidik tindak pidana korupsi.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Hakim Konstitusi Achmad Sodiki, Zainal Arifin menilai kewenangan penyidikan, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi di tangan kejaksaan tidak mempunyai dasar hukum yang jelas.  

Kewenangan menyidik jaksa agung dalam perkara korupsi dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan dan Pasal 39 UU Pemberantasan Tipikor  ditafsirkan sebagai kewenangan menyidik jaksa dalam perkara korupsi. Namun, kewenangan menyidik jaksa dalam perkara korupsi itu telah dinegasikan oleh Pasal 42 UU KPK.  

Pasal 42 UU KPK menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

Menurut Zainal, jika mengacu asas lex posteriori derogat lexi priori (UU yang baru membatalkan UU yang lama, red) seharusnya Pasal 39 UU Pemberantasan Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga, sejak lahirnya UU KPK, kejaksaan tidak berwenang lagi untuk melakukan tindak pidana korupsi.

“Karena tak ada kewenangan lagi jaksa dalam menyidik korupsi, maka UU Pemberantasan Korupsi tidak boleh dijadikan sandaran bahwa jaksa masih berwenang menyidik perkara korupsi,” ujar Zainal.  


Zainal juga meminta agar frase “..atau kejaksaan” dalam Pasal 44 ayat (4), (5), Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UU KPK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi oleh Mahkamah. Sebab, berlakunya UU KPK telah menegasikan hal-hal yang menyangkut kewenangan penyidikan jaksa dalam kasus korupsi. “Sejak berlakunya UU KPK, koordinasi dan penyidikan tindak pidana korupsi hanya ada pada KPK,” katanya.

Dia juga menilai pembentuk UU KPK telah bertindak kurang teliti saat merumuskan undang-undang ini. “Karena paradigmanya kejaksaan itu masih memiliki kewenangan menyidik perkara korupsi. Padahal UU KPK itu telah mereduksi kewenangan penyidikan oleh kejaksaan dalam perkara korupsi,” tegasnya.   

Karena itu, pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang mensyaratkan setiap rumusan dalam undang-undang harus jelas dan tegas terutama yang menyangkut kewenangan lembaga penegak hukum. “Ini akan berpotensi melanggar hak asasi manusia,” ujarnya.  

Menurutnya, perlu ada diferensiasi yang tegas antara kewenangan antara kepolisian dengan kejaksaan. Yakni, penyidikan di tangan kepolisian, sedangkan penuntutan ada pada kejaksaan. “Itu harus tegas sebagai perwujudan dari check and balances. Kami berharap proses penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi dikembalikan pada ruhnya yang mengakui adanya diferensiasi”.

Jika pengaturan tentang kewenangan penyidikan masih seperti yang ada sekarang, maka akan terjadi penyimpangan yang akan mengkhianati semangat penegakan hukum itu sendiri. “Ini akan menjadi monster penegakan hukum,” tambahnya.

Sebelumnya, seorang tersangka korupsi Djailudin Kaisupy juga memohon pengujian Pasal 30 ayat (1) berikut penjelasannya UU Kejaksaan. Ia menilai kewenangan jaksa sebagai penuntut umum merangkap penyidik perkara korupsi menimbulkan ketidakpastian hukum dan melampaui batas kewenangan. Hal ini mengakibatkan penyidikan dan penuntutan tidak objektif karena dilakukan oleh orang yang sama. 

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menilai permohonan ini membingungkan karena dengan alasan apa pasal-pasal itu dimohonakan pengujian. “Anda harus menjelaskan pertentangan antara pasal-pasal yang diuji dengan pasal dalam UUD 1945, bukan pertentangan antar undang-undang, Anda harus menguraikan secara jelas,” tegas Maria.

Maria mempertanyakan apakah alasan asas lex posteriori derogat legi priori sudah berlangsung jika dalam normanya tidak dinyatakan secara tegas. “Apa itu langsung tidak berlaku? Saudara harus melihat aturan peralihan dari undang-undang itu, kalau kita lihat banyak undang-undang yang secara asas saling bertentangan, tetapi bukan berarti undang-undang baru membatalkan undang-undang yang lama,” kata Maria.     

Selanjutnya, majelis panel memberikan kesempatan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya dalam waktu 14 hari kerja. [http://bit.ly/z2LrxN]
Share this article :

Posting Komentar