Selasa, 14 Februari 2012

Home » » KY Kehilangan Parameter Pengawasan

KY Kehilangan Parameter Pengawasan

Pembatalan delapan poin dalam SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (PPH) mendapat kritikan dari sejumlah kalangan. Pakar Hukum Pidana Mudzakkir berpendapat pencabutan sejumlah materi SKB Kode Etik dan PPH dapat merusak citra profesi hakim dan membuka peluang bagi hakim menyalahgunakan profesinya.

“Sebenarnya pencabutan kode etik hakim itu tidak terlalu bermasalah, tetapi materi yang dicabut itu bisa merusak image profesi hakim yang berpotensi adanya penyalahgunaan wewenang bagi para hakim,” kata Mudzakkir di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (14/2).

Ia menilai dampak dari pencabutan ini, Komisi Yudisial (KY) akan kesulitan mengawasi para hakim. Sebab, KY tidak memiliki pegangan lagi sejak sejumlah butir kode etik dan PPH itu dibatalkan.

“Ketika KY kecewa, saya bisa memahami karena parameter untuk menguji sebuah tindakan pelanggaran kode etik hakim dalam menjalankan fungsinya sudah tidak ada lagi. Ini akan menyulitkan KY untuk menguji sebuah perilaku hakim yang melanggar kode etik dan perilaku hakim,” terang Dosen Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu.      

Mudzakkir menyarankan MA dan KY merumuskan kembali kode etik dan PPH ini yang disusun secara rigid agar masyarakat juga bisa mengawasi pelaksanaan Kode Etik dan PPH itu. [http://bit.ly/yJ54Py]

“Saya kira MA dan KY mesti duduk bersama untuk merumuskan kembali kode etik itu agar penafsiran setiap instrumen itu lebih jelas, sehingga masyarakat juga mudah mengawasi,” sarannya. “Misalnya, definisi atau pemahaman pengabaian fakta/bukti persidangan yang menentukan seperti apa? Seperti pengabaian bukti peluru dan senjata tidak dipertimbangkan dalam kasus Antasari Azhar.”        

Ia menambahkan idealnya kode etik hakim itu disusun oleh organisasi profesi hakim untuk menjaga kehormatan anggota organisasi yang bersangkutan. Sebab, kode etik ini menyangkut moral hakim.

Turut mengkritik, Dosen Hukum Pidana UGM Eddy OS Hiariej menilai pencabutan sejumlah poin Kode Etik dan PPH tidak relevan. “Pembatalan kode etik ini tidak tepat, ini sama saja ‘jeruk makan jeruk’,” kata Eddy singkat.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyarankan agar revisi terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim jangan sepihak, seyogianya KY dan MA bersama-sama memperbaiki kode etik profesi itu.

"Yang terbaik adalah ajakan revisi yang harus dilakukan bersama-sama MA dan KY. Memorandum of understanding (MoU) 'kan secara etik mengikat kedua belah pihak," kata Eva, Selasa (14/2).

Soal putusan uji materinya, Eva berpendapat putusan itu janggal karena MA terkesan menghapus secara sepihak dengan alasan bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi. Padahal, kode etik itu dibuat bersama-sama dengan KY.

"Ketika kode etik itu dibuat pasti sesuai dengan persetujuan MA dan KY. Ironisnya ketika KY menggunakan kesepakatan tersebut sebagai pedoman pengawasan hakim, MA menghapus sepihak. Apalagi isi yang dihapus amat normatif dan prorakyat (biaya rendah)," katanya.

Menurut Eva, independensi hakim sudah bisa dimaksimalkan ketika hakim memutus perkara. "Independen 'kan bukan berarti semau hakim. Kebebasan hakim pun dibatasi dengan norma-norma yang bertujuan agar hak asasi manusia ujarnya.

Untuk diketahui, majelis hakim agung yang diketuai Paulus Effendi Lotulung beranggotakan Ahmad Sukardja, dan Rehngena Purba, Takdir Rahmadi, dan Supandi memerintahkan Ketua MA dan Ketua KY mencabut delapan butir SKB Kode Etik dan PPH itu. Pasalnya, delapan butir SKB Kode Etik dan PPH  bertentangan dengan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pencabutan itu buah dari pengujian SKB Ketua MA dan Ketua KY Tahun 2009 tentang Kode Etik dan PPH poin 8 dan 10 yang diajukan sejumlah advokat. Adapun delapan butir kode etik yang dibatalkan adalah butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4, dan butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 SKB Kode Etik dan PPH.
Share this article :

Posting Komentar